Ratusan miliar uang lusuh atau uang rusak telah ditarik dari peredarannya di Kepulauan Bangka Belitung. Temuan uang lusuh hampir merata di wilayah perkotaan maupun pulau-pulau yang ada masyarakatnya.
“Uang lusuh ini tidak layak edar tapi masyarakat enggan menukarkannya ke bank. Cenderung ditahan dan diedarkan lagi,” kata Admin Perkasan Unit Impelementasi Pengelolaan Uang Rupiah BI Bangka Belitung, Dian Hangga W.
Dian menuturkan, temuan uang lusuh paling banyak ditemukan di daerah Bangka yang nilainya mencapai Rp 200 miliar, kemudian di Belitung mencapai Rp 51 miliar.
Bank Indonesia selanjutnya menukarkan uang lusuh dari masyarakat dengan pecahan uang rupiah baru. “Setiap kegiatan di pulau-pulau seperti Pongok dan Seliu, ditemukan Rp 400 juta sampai Rp 900 juta uang lusuh,” ujar Dian.
Umumnya uang lusuh terdiri dari pecahan Rp 5.000, Rp 2.000 dan Rp 1.000. Uang pecahan tersebut paling sering ditransaksikan masyarakat. “Saat ini uang pecahan tersebut sudah dilapisi coating atau varnish yaitu plastik kecil seperti laminating tipis sehingga lebih kuat daya tahannya,” ujar Dian.
Selain uang lusuh yang bisa ditukarkan dengan uang baru dengan nominal yang sama, Bank Indonesia juga menerima pergantian uang rusak.
Syaratnya uang masih memiliki dua per tiga bagian, sementara bagi uang yang rusak karena terbakar harus masih bisa dikenali nominal dan keasliannya.
“Kami selalu ingatkan masyarakat untuk menjaga uangnya. Termasuk saat menerima uang rusak jangan malah dicoret seolah uang itu tidak lagi bisa dipakai, padahal masih bisa ditukar dengan uang baru,” pesan Dian.
Melalui kegiatan pejuang rupiah, kata Dian, Bank Indonesia memastikan ketersediaan rupiah hingga ke berbagai pulau terpencil. Rupiah tidak hanya sebagai alat pembayaran, tapi juga bukti kedaulatan sebuah negara. “Dulu Sipadan dan Ligitan lepas karena salah satunya masyarakat di sana tak pakai rupiah,” pungkas Dian.