LintasBabel – Ekonomi Jepang tergelincir ke dalam jurang resesi. Perekonomian Negara Sakura itu menyusut selama dua kuartal berturut-turut karena lemahnya permintaan domestik.
Dilansir dari Reuters, Kamis (15/2/2024), pemerintah Jepang mencatat, Produk domestik bruto (PDB) turun 0,4% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada periode Oktober-Desember 2023, setelah turun 3,3% pada kuartal sebelumnya.
Sebelumnya ekonom justru memperkirakan median pertumbuhannya akan ada kenaikan sebesar 1,4%. Sedangkan secara triwulanan, PDB turun 0,1% dibandingkan perkiraan median yang memperkirakan kenaikan 0,3%.
Kontraksi dua kuartal berturut-turut biasanya dianggap sebagai definisi resesi teknis. Lemahnya kinerja ekonomi ini membuat Jepang kehilangan predikatnya sebagai negara dengan perekonomian terbesar ketiga di dunia, digantikan oleh Jerman.
Data yang lemah ini mungkin menimbulkan keraguan terhadap perkiraan bank sentral Jepang, Bank of Japan, bahwa kenaikan upah akan mendukung konsumsi, dan membenarkan penghentian stimulus moneter besar-besaran secara bertahap.
“Ada risiko ekonomi akan menyusut lagi pada kuartal Januari-Maret karena melambatnya pertumbuhan global, lemahnya permintaan domestik dan dampak gempa Tahun Baru di Jepang bagian barat,” kata Kepala Ekonom di Credit Agricole, Takuji Aida.
“BoJ mungkin terpaksa menurunkan tajam perkiraan PDB-nya untuk tahun 2023 dan 2024,” tambahnya.
Setelah data tersebut dirilis, yen sedikit mengalami perubahan, menjadi di posisi 150,42 per US$, berada dekat dengan level terendahnya dalam tiga bulan.
Konsumsi Lemah
Sementara itu, data Pemerintah Jepang juga menunjukkan konsumsi swasta turun 0,2%, berkebalikan dengan proyeksi ekonom bahwa akan ada kenaikan 0,1%. Adapun konsumsi swasta sendiri mencakup lebih dari separuh aktivitas ekonomi.
Kemudian belanja modal, mesin pertumbuhan utama sektor swasta lainnya, turun 0,1%, dibandingkan perkiraan kenaikan 0,3%. Permintaan eksternal, atau ekspor dikurangi impor, menyumbang 0,2 poin persentase terhadap PDB karena ekspor naik 2,6% dari kuartal sebelumnya.
Sumber mengatakan kepada Reuters, BOJ telah menetapkan dasar untuk mengakhiri suku bunga negatif pada bulan April dan merombak bagian lain dari kerangka moneter ultra-longgarnya. Namin, kemungkinan ia akan memperlambat pengetatan kebijakan berikutnya di tengah risiko yang masih ada.
Meskipun pejabat BOJ belum memberikan petunjuk kapan tepatnya mereka akan mengakhiri suku bunga negatif, banyak pelaku pasar memperkirakan tindakan seperti itu akan terjadi pada bulan Maret atau April. Jajak pendapat Reuters yang dilakukan pada bulan Januari menunjukkan bulan April sebagai pilihan utama para ekonom untuk meninggalkan kebijakan suku bunga negatif.
Di samping itu, beberapa analis mengatakan pasar tenaga kerja Jepang yang ketat dan rencana belanja perusahaan yang kuat menjaga peluang keluarnya lebih awal dari kebijakan ultra-longgar.
“Meskipun kontraksi PDB yang kedua berturut-turut pada kuartal keempat menunjukkan bahwa perekonomian Jepang kini berada dalam resesi, survei bisnis dan pasar tenaga kerja memberikan gambaran yang berbeda. Bagaimanapun, pertumbuhan diperkirakan akan tetap lamban tahun ini karena tingkat tabungan rumah tangga telah berubah menjadi negatif,” kepala Asia-Pasifik di Capital Economics, kata Marcel Thieliant.
“BOJ berargumen bahwa konsumsi swasta ‘terus meningkat secara moderat’ dan kami menduga BOJ akan terus memberikan nada optimis pada pertemuan mendatang di bulan Maret,” sambungnya.